Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Desember 2011

EMPAT CAGUB KE PILKADA

BANDA ACEH - Di tengah masih kontroversinya pelaksanaan Pilkada Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) terus melaksanakan berbagai tahapan yang telah ditetapkan, termasuk penetapan pasangan bakal calon (balon) gubernur/wakil gubernur menjadi calon, Jumat (30/12).

Berdasarkan penetapan KIP Aceh, ada empat pasangan balon gubernur/wakil gubernur menjadi calon tetap untuk Pilkada 2012 dengan agenda pemilihan pada 16 Februari 2012.

Penetapan ini dilakukan KIP Aceh dalam rapat pleno yang dipimpin Ketua KIP Abdul Salam Poroh bersama anggota komisioner yang juga turut dihadiri panitia pengawas (panwas), Jumat (30/12).

Ketua Pokja Pencalonan, Nurjani Abdullah mengatakan penetapan keempat pasangan cagub/cawagub ini dilakukan setelah melalui serangkaian proses verifikasi panjang mulai dari verifikasi adminitrasi di KIP provinsi dan verifikasi faktual di kabupaten/kota hingga panitia pemungutan suara (PPS) di tingat desa.

“Untuk syarat dukungan yang sudah diverifikasi untuk ketiga pasangan yang maju dari jalur independen, ketiganya memenuhi syarat dan dapat ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Aceh 2012,” ujar Nurjani dalam konferensi pers dengan wartawan di Media Center KIP, Jumat (30/12).

Keempat pasangan cagub/cawagub yang telah disahkan sebagai calon tetap masing-masing satu pasangan yang diusung koalisi partai politik yakni Muhammad Nazar/Nova Iriansyah. Pasangan ini diusung Partai Demokrat dengan 10 kursi di DPRA dan PPP dengan 4 kursi. Jumlah 14 kursi ini telah memenuhi syarat yang ditetapkan bagi parpol/koalisi parpol untuk dapat mengusung calon, yakni minimal 11 kursi.

Sementara tiga pasangan cagub/cawagub lainnya yang juga telah ditetapkan KIP sebagai calon tetap, yaitu Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan dengan jumlah dukungan sah 152.803, pasangan Tgk Ahmad Tajuddin/Suriansyah dengan jumlah dukungan sah 162.844, dan pasangan Darni M Daud/Fauzi Ahmad dengan jumlah dukungan sah 186.742.

Untuk selanjutnya pasangan cagub/cawagub yang telah ditetapkan akan menjalani proses pengundian nomor urut pada 2 Januari. KIP akan menggelar rapat pleno terbuka untuk penentuan nomor urut ini di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.

Minggu, 18 Desember 2011

Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU Lahirkan Rekomendasi Tahap Awal

Jakarta, kpu.go.id- Prakarsa Pendaftaran Pemilih Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam Konferensi Pertengahan yang digelar di Jakarta, Kamis (15/11), mengeluarkan rekomendasi tahap awal terkait sistem pendaftaran pemilih yang akan diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014.

Rekomendasi tersebut mencakup beberapa hal, seperti prinsip-prinsip pendaftaran pemilih; kriteria dasar daftar pemilih; metode pemutakhiran; sumber data; koordinasi antar lembaga; mekanisme penyusunan data pemilih; pemutakhiran dan publikasi data pemilih; pengorganisasian kerja; pengaturan waktu; teknologi dan sistem informasi; DPS dan DPT online; serta sistem anggaran.

Dalam Konferensi itu, hadir Ketua KPU, Prof. H.A. Hafiz Anshary, AZ, MA; Anggota KPU, Sri Nuryanti; Kepala Biro Perencanaan KPU, Moyong Hariyanto; serta Prof. Ramlan Surbakti, Arif Wibowo (DPR RI), dan Hasyim Ashari, sebagai narasumber.

Ketua KPU dalam sambutannya mengatakan, dalam Pemilu diakui adanya hak pilih secara universal. Pemilu merupakan pelembagaan partisipasi dalam menggunakan hak pilih.

“Hak pilih memenuhi karakter demokrasi apabila memiliki 4 (empat) prinsip, yakni umum (universal), setara (equal), rahasia (secret), dan langsung (direct). Salah satu masalah utama yang masih muncul dalam setiap penyelenggaraan Pemilu adalah mengenai daftar pemilih,” ulas Hafiz Anshary.

Dalam rangka persiapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2014, KPU berprakarsa untuk meninjau dan merevisi metode pendaftaran pemilih di Indonesia, melalui program Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU. Untuk memperkuat daftar pemilih sebelum Pemilu 2014, KPU berupaya mengembangkan dan menerapkan sistem pendaftaran pemilih 2012 yang baru.

“Walaupun telah lahir Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, tapi KPU periode sekarang tetap berusaha untuk mempersiapkan Pemilu 2014,” tambah Hafiz.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara publik meluncurkan “Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU” pada 18 Agustus 2011 sebagai upaya terintegrasi dalam rangka memperbaiki administrasi pemilihan umum. Prakarsa ini dibentuk untuk membahas dan merevisi metode pendaftaran pemilih di Indonesia, dengan tujuan akhir berupa rampungnya penyusunan sebuah rencana pendaftaran pemilih yang baru bagi Indonesia.

“Program ini dirancang dalam kerangka KPU sebagai lembaga yang tetap dan berkelanjutan. Jadi bagi kami, KPU adalah satu kesatuan yang utuh, dari Pemilu ke Pemilu berikutnya,” tandas Hafiz.

“Saya berharap, program ini mendapatkan dukungan penuh dari semua pihak, baik dari Pemerintah, Partai Politik, maupun masyarakat pemilih. Dukungan tersebut sangat bermakna bagi KPU dalam upaya menyediakan sistem dan metode baru pendaftaran pemilih yang memenuhi kriteria komprehensif, akurat, dan mutakhir,” pungkas Hafiz Anshary.

Minggu, 27 November 2011

PUTUSAN MK NO 108/PHPU.D-IX/2011

PUTUSAN
Nomor 108/PHPU.D-IX/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan akhir dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Aceh Tahun 2011, yang
diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama : Ir. H.T.A. Khalid, M.M.
Tempat/Tanggal Lahir : Meunasah Mane, 25 Februari 1970
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta;
Alamat : Desa Kuta Blang, Kecamatan Banda Sakti,
Kota Lhokseumawe;
Adalah bakal calon Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
2. Nama : Fadhlullah
Tempat/Tanggal Lahir : 15 Juli 1980
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Lampaloh, Kecamatan Lueng Bata, Kota
Banda Aceh
Adalah bakal calon Kepala Daerah Kabupaten Pidie;
Berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 10 Oktober 2011, memberi kuasa kepada
Mukhlis, S.H. dan Safaruddin, S.H., yaitu advokat pada Law Firm ”Mukhlis, Safar,
& Partner” beralamat di Jalan T. Iskandar Nomor 33 Beurawe, Banda Aceh, yang
bertindak untuk dan atas nama para Pemohon;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
2
Terhadap:
[1.3] Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, berkedudukan di Jalan
T. Nyak Arief Komplek Gedung Arsip, Banda Aceh;
Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 270/3459/2011 bertanggal 29 Oktober 2011
memberi kuasa kepada i) Ilham Saputra, S.Sos; ii) Ir. Nurjani Abdullah; iii) Zainal
Abidin, S.H., M.Si.; iv) Robby Syah Putra, S.E.; v) Akmal Abzal, S.HI.; dan vi)
Yarwin Adi Dharma, S.Pt., yaitu Wakil Ketua dan Anggota Komisi Independen
Pemilihan (KIP), yang beralamat di Jalan T. Nyak Arief Komplek Gedung Arsip,
Banda Aceh, yang bertindak untuk dan atas nama Termohon;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------- Termohon;
[1.4]Nama : drh. Irwandi Yusuf
Tempat/Tanggal Lahir : Bireun, 2 Agustus 1960
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS (Gubernur Aceh)
Alamat : Jalan Salam Nomor 20, Desa Bandar
Baru, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda
Aceh
Adalah bakal calon Gubernur Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi Aceh Tahun 2011;
Berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 26 Oktober 2011, memberi kuasa kepada
i) Sayuti Abubakar, S.H.; ii) Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M.; iii) Gunawan
Nanung, S.H.; iv) Toddy Laga Buana, S.H.; dan v) Wahyu Widi Purnomo, S.H.,
yaitu para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam “Sayuti Abubakar
& Partners Law Firm”, beralamat di Grand Wijaya Center Blok A-8, Lantai 3, Jalan
Wijaya II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, baik bersama-sama maupun sendirisendiri
bertindak untuk dan atas nama Pihak Terkait;
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------- Pihak Terkait;
[1.5] Membaca permohonan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan dan membaca jawaban tertulis dari Termohon
dan Pihak Terkait;
3
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;
Mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari para Pemohon;
Mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;
Mendengar keterangan Pemerintah Provinsi Aceh;
Mendengar keterangan Komisi Pemilihan Umum;
Mendengar keterangan Kementerian Dalam Negeri;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon di dalam permohonannya bertanggal
20 Mei 2010 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 20 Oktober 2011 berdasarkan
Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 379/PAN.MK/2011, dan diregistrasi
dengan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 pada tanggal 20 Oktober 2011, dan telah
diperbaiki dengan permohonan bertanggal 19 Oktober 2011 yang diserahkan pada
tanggal 28 Oktober 2011, menguraikan pada pokoknya sebagai berikut:
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sebagaimana dikuatkan
dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat)
kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Bahwa selain ketentuan tersebut di atas, mengenai kewenangan Mahkamah
Konstitusi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan sebagai
berikut, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
4
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.
Bahwa berdasarkan sebagaimana ketentuan tersebut di atas maka jelas bahwa
hak untuk mengajukan keberatan atas hasil Pemilukada sendiri telah dijamin di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
mengingat Pemilukada sebagai salah satu sarana perwujudan demokrasi di
Indonesia dalam rangka tegaknya sistim politik, demokrasi merupakan sarana
untuk memilih dan menentukan kepemimpinan daerah secara konstitusional yang
dilakukan dengan mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara.
Pemilukada merupakan salah satu sarana yang sangat strategis dalam
melaksanakan tujuan tersebut. Oleh sebab itu Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. sebagai lembaga negara pengawal konstitusi dan penegak
demokrasi, sehingga peran Mahkamah dalam hal adanya sengketa hasil
Pemilukada adalah dalam rangka menegakkan negara hukum yang demokratis,
serta menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen
negara secara konsisten dan bertanggung jawab;
Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah mengharuskan Pemilukada dilakukan
secara domokratis dan tidak melanggar asas-asas Pemilu yang bersifat Luber dan
Jurdil, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008,
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, serta dengan jelas telah digariskan bahwa pelaksanaan
Pemilu harus bebas dari rasa takut, tekanan, ancaman atau intimidasi dari pihak
manapun, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22G ayat (1) UUD 1945. Bahwa
pelaksanaan “Asas Demokrasi” atau “Asas Kedaulatan Rakyat” harus didasarkan
Asas Nomokrasi atau Asas Negara Hukum, yang merupakan pengakuan, jaminan,
perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan oleh Undang-Undang
5
bagi setiap pemilih pada umumnya dan setiap Pasangan Calon yang menjadi
peserta Pemilukada di Aceh pada khususnya, dengan penekanan bagi
penyelenggaraan Pemilukada, yakni Termohon dalam menjalankan tugas,
wewenang, dan kewajibannya dalam penyelenggaraan Pemilukada di Aceh Tahun
2011, bahwa pelaksanaan Pemilukada tersebut berjalan dan terlaksana
berdasarkan prinsip demokrasi dan nomokrasi serta tidak melanggar peraturan
perundangan yang ada. Oleh karena mana sebagai konsekuensi logis-yuridisnya,
setiap keputusan yang diperoleh secara demokratis, “dapat dibatalkan oleh
Mahkamah” jika dapat dibuktikan secara sah di dalamnya terdapat pelanggaran
terhadap nomokrasi, termasuk pada Berita Acara dan Keputusan Termohon
sebagaimana menjadi objek permohonan a quo.
Bahwa terkait dengan hal dimaksud, dalam mengemban misinya Mahkamah
sebagai pengawal Konstitusi dan pemberi keadilan tidak dapat memainkan
perannya dalam mewujudkan perannya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan
negara dalam memberikan perannya dalam kesejahteraan bagi warga masyarakat
jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung perolehan suara
secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah tidak dapat atau dilarang
memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata
terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi
manusia, terutama hak politik yang mencedarai proses demokrasi dalam
pemilukada yang jujur, dan demokratis. Lebih dari itu, apabila Mahkamah
diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada berlangsung
tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan membiarkan
terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil. Jika demikian
maka Mahkamah selaku institusi negara pemegang kekuasaan kehakiman hanya
diposisikan sebagai tukang stempel dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan
Umum. Jika hal itu terjadi berarti akan melenceng jauh dari filosofi dan tujuan
diadakannya peradilan atas sengketa hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut.
Bahwa dari pandangan hukum di atas, Mahkamah dalam mengadili sengketa
Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan
suara, melainkan Mahkamah juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi proses
pemilukada itu sendiri dan hasil perolehan suara tersebut. Dalam berbagai putusan
Mahkamah yang seperti itu terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan
6
dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka pengujian Undang-Undang
maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada. Dalam praktik yang sudah menjadi
yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, Mahkamah dapat menilai
pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu
putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat
mempengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau
Pemilukada (vide putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
tertanggal 2 Desember 2008).
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon
a. Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang berprofesi
sebagai wiraswasta yang mempunyai kepentingan terkait dengan Pemilukada
Aceh, untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Bahwa di daerah
Provinsi Aceh akan dilangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota pada Tahun 2011, di mana para
Pemohon berkeinginan untuk ikut mencalonkan diri:
1. Pemohon I sebagai Calon Gubernur Aceh.
2. Pemohon II sebagai Calon Bupati Kabupaten Pidie.
b. Bahwa sebelumnya para Pemohon adalah calon perseorangan/independen
yang akan maju sebagai calon Gubernur Aceh dan Bupati Pidie, namun
karena terjadinya perbedaan landasan hukum pelaksanaan Pemilukada Aceh
(konflik regulasi) antara DPRA dan Pemerintah Aceh maka para Pemohon
menunggu kepastian hukum dari Presiden terhadap pelaksanaan Pemilukada
Aceh, namun KIP Aceh selaku Termohon tetap melanjutkan Pemilukada Aceh
tanpa kepastian hukum dan membuat para Pemohon tidak dapat mengikuti
Pemilukada di Aceh.
c. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan kesempatan kepada setiap
orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Selanjutnya
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak
mendapatkan kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Kedua Pasal
tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang
berbunyi sebagai berikut:
7
ayat (1) : ”Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
ayat (2) : “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung, ataudengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas menurut
cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
ayat (3) : “Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan
pemerintahan.”
d. Bahwa SK KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP
Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun
2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26
September 2011 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh telah menutup kesempatan bagi
para Pemohon dalam Pemilukada di Aceh dan jelas-jelas telah menghambat
dan merugikan hak konstitusional bagi para Pemohon sebagai warga
negara yang taat hukum
e. Bahwa para Pemohon berkeyakinan dengan tetap dilaksanakan Pemilukada
Aceh dengan menggunakan landasan hukum SK KIP Aceh Nomor 1 Tahun
2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20
Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK
Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi
Aceh, yang merupakan landasan hukum inkonstitutional telah membuat para
Pemohon tidak dapat mengikuti Pemilukada Aceh. Karenanya para Pemohon
sangat merasa dirugikan
f. Bahwa Keberadaan SK KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011
juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP
Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011
tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh telah menimbulkan
8
ketidak pastian hukum sehingga para Pemohon yang merupakan warga
negara yang taat akan hukum tidak dulu mendaftarkan diri sebagai calon
Gubernur Aceh dan Bupati Kabupaten Pidie sebelum ada suatu kepastian
payung hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tetapi KIP Aceh bersikeras dengan melanggar berbagai aturan untuk
tetap melanjutkan Tahapan Pemilukada Aceh, dan Pemohon tidak dapat ikut
serta dalam Pemilukada Aceh tersebut.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon merupakan pihak yang
memiliki hubungan sebab akibat (causal verband), maka demikian, para Pemohon
berpendapat bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai pihak dalam permohonan ini.
C. Pokok Permohonan
1. Bahwa berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia, Pasal 18B ayat (1), Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat
khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, kepada Aceh telah diberikan Otonomi Khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
3. Bahwa menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang dimaksud dengan
Pemerintahan Aceh adalah Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA), Kepala Pemerintah Aceh (Gubernur), dan DPRA dipilih melalui
pemilihan yang demokratis yang dilaksanakan/diselenggarakan oleh sebuah
lembaga yang bernama Komisi Independen Pemilihan (KIP).
4. Bahwa KIP adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh UUPA untuk
melaksanakan Pemilukada Aceh sesuai ketentuan Pasal 1 angka 12 UUPA,
yaitu Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh
dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota
DPRA/DPRK, Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/Wakil Walikota, sedangkan tupoksi dan mekanisme Pemilihan diatur
dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 73 serta ruang lingkup kewenangannya
9
sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 11 ayat (2) juncto
Pasal 269 ayat (1) UUPA.
5. Bahwa menurut UUPA, Pemilukada Aceh dilaksanakan berdasarkan Qanun
sesuai ketentuan Pasal 73 yang berbunyi Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/wakil walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal
70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 66
Ayat (3) huruf b yang bunyinya, Pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh
mengenai berakhirnya masa Jabatan Gubernur/Wakil Gubernur, serta
berdasarkan Pasal 66 ayat (6) bahwa tata cara pelaksanaan Pemilukada Aceh
diatur oleh KIP dengan berpedoman pada Qanun.
6. Bahwa Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1
Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal
20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto
SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
adalah tidak sesuai dan melanggar ketentuan diatas (UUPA Pasal 73 juncto
Pasal 66 ayat (3) huruf b juncto Pasal 66 ayat (6).
7. Bahwa sampai permohonan ini diajukan Qanun tentang Pemilukada Aceh
sebagaimana diperintahkan ketentuan Pasal 73 UUPA belum tuntas
pembahasannya karena tidak adanya kesepakatan bersama antara Eksekutif
(Pemerintah Aceh) dengan Legislatif (DPRA). Dan hal tersebut pernah menjadi
polemik dan bahkan telah menjadi konflik Regulasi antara Eksekutif dan
Legislatif, serta sempat dimediasi oleh Pemerintah Pusat melalui pertemuan
lintas stake holder Pemilukada Aceh di Departemen Dalam Negeri Jakarta
tanggal 3 Agustus 2011 yang melahirkan kesepakatan cooling down (5 Agustus
sampai 5 September 2011). Sesuai surat Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia tanggal 4 Agustus 2011, akan tetapi tidak ada titik temu antara
Eksekutif dan Legislatif Aceh dan bahkan tidak adanya keputusan dari
Pemerintah Pusat tentang konflik regulasi Pemilukada Aceh, akhirnya
Termohon dengan SK Nomor 17 tahun 2011 tanggal 26 September 2011 terus
melanjutkan tahapan Pemilukada tanpa landasan hukum yang jelas, dan
10
bahkan tidak memperdulikan prinsip-prinsip Legalitas, Legitimasi, dan Jurdil
yang akan bermuara kepada kualitas demokrasi Pemilukada Aceh itu sendiri.
8. Bahwa SK KIP Aceh tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah Aceh
adalah tidak logis dan manipulatif juga telah membuat Pemohon dicurangi oleh
KIP Aceh sehingga Pemohon tidak dapat mengikuti pemilihan sebagai kepala
daerah dalam Pemilukada Aceh Tahun 2011 ini, yaitu:
a. Alokasi waktu untuk calon independen dalam mendapatkan dukungan
adalah tidak logis dan maipulatif, sebagai contoh, untuk calon Pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 50 hari untuk mendapatkan dukungan
3% dari Jumlah penduduk Aceh [UUPA Pasal 68 ayat (1)], sedangkan
jumlah penduduk Aceh berdasarkan data Pemerintah Aceh adalah
sebanyak 4.953.262, maka seorang pasangan calon harus mengumpulkan
dukungan sebesar 148.598 fotokopi KTP, dari itu patut diduga dukungan
terhadap Calon Independen dalam Pemilukada Aceh Tahun 2011 baik di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah manipulatif dan merupakan
tindak pidana pemalsuan.
b. Alokasi waktu untuk Calon Independen yang berasal dari partai politik untuk
mundur dari partainya juga tidak logis dan manipulatif (karena menurut
ketentuan Pasal 33 ayat (1) C Qanun Nomor 7 Tahun 2006 juncto UUPA
Pasal 73, di mana pendaftaran menurut SK KIP Nomor 1 Tahun 2011
adalah pada tanggal 30 Juli s.d Agustus 2011 bila dikurang 3 bulan jatuh
pada tanggal 30 April s.d 5 Mei 2011) sedangkan SK KIP Nomor 1 Tahun
2011 diterbitkan pada tanggal 12 Mei 2011 dan diumumkan lewat media
Serambi Indonesia tanggal 19 Mei 2011.
9. Bahwa selain melanggar UUPA serta tidak logis dan manipulatif Surat
Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011
tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011
juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17
Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 2011 tentang Tahapan, Program dan
Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh, adalah juga
melanggar Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, Pasal 2 huruf e dan huruf f, yang mengatur tentang
11
“Penyelenggara Pemilihan Umum berpedoman pada asas kepastian Hukum,
tertib penyelenggaraan dan asas kepentingan Umum.
a. Bahwa SK KIP Aceh tentang tahapan, program, dan jadwal pemilihan
sebagaimana tersebut di atas telah melanggar Asas Kepastian Hukum, di
mana berdasarkan ketentuan Pasal 59 A ayat (4) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 20004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa “Masa
verifikasi daftar dukungan calon perseorangan untuk pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur paling lambat 28 hari sebelum waktu pendaftaran
Calon. Namun dalam Keputusan KIP Nomor 1 Tahun 2011 vide angka
Romawi II angka 2 huruf e dilaksanakan mulai tangggal 9 Juli s.d 22 Juli (13
hari), jelas merupakan bentuk ketidakpastian hukum dalam keputusan KIP
Aceh tersebut.
b. Bahwa Surat Keputusan KIP Aceh tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Pelaksanaan Pemilukada Aceh juga telah Melanggar Asas Kepentingan
Umum, yaitu di mana KIP dengan Keputusannya Nomor 17 tahun 2011
telah menjadwalkan:
􀂃 Hari penyusunan dan penetapan rekapitulasi jumlah pemilih terdaftar dan
TPS terinci tiap kecamatan dan gampong/desa adalah tanggal 06 – 07
November 2011 dan Hari Pengumuman Pasangan calon yang memenuhi
persyaratan adalah tanggal 07 November 2011, Di mana hari-hari tersebut
adalah merupakan Hari Raya Idul Adha yang merupakan hari besar umat
islam.
􀂃 Hari pemungutan suara dan perhitungan suara tanggal 24 Desember
2011, yaitu satu hari sebelum hari Natal yang tentunya akan mengganggu
hak umat kristiani dalam menggunakan hak pilihnya.
􀂃 Rekapitulasi perhitungan suara di PPK tanggal 25 – 27 Desember 2011,
yang jatuh pada hari Natal dan merupakan hari besar umat kristiani dan
hari libur nasional.
c. Bahwa Surat Keputusan KIP Aceh tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Pelaksanaan Pemilukada Aceh juga telah Melanggar Asas Ketertiban
Penyelenggaraan, di mana Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2010 dalam
lampirannya mewajibkan kepada KIP Aceh untuk membuat Tahapan
persiapan harus sudah selesai 210 (dua ratus sepuluh) hari sebelum hari
12
pemungutan dan penghitungan suara serta semua aturan pelaksanaan
Pemilukada (Juklak/Juknis) harus sudah tuntas disiapkan sebelum
dimulainya tahapan, namun hal ini tidak menjadi pedoman bagi KIP Aceh.
10. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jelas Surat Keputusan
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei
2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP
Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011
tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan merupakan tindakan sistematis,
terstruktur dan masif untuk menghambat dan membuat para Pemohon tidak
dapat ikut serta dalam Pemilukada Aceh Tahun 2011 ini sehingga para
Pemohon sangat dirugikan.
11. Bahwa sesuai dengan alasan-alasan di atas, guna menghindari dari kerugian
yang tidak bisa diperbaiki lagi akibat dari tindakan KIP Aceh, Maka para
Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebelum
memberikan putusan final dalam pokok perkara ini, berkenan kiranya
memberikan putusan provisi.
Petitum
Bahwa Berdasarkan segala yang telah diuraikan di atas, para Pemohon memohon
agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Provisi
- Menerima dan mengabulkan permohonan Provisi para Pemohon.
- Menetapkan Pemilukada Aceh dihentikan sementara sebelum adanya
kepastian. hukum yang jelas tentang landasan hukum pelaksanaan Pemilukada
Aceh.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh
Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011
tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011
juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan,
13
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh
dalam Provinsi Aceh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Membatalkan Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh
Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP No 11 Tahun 2011
tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011
juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh.
4. Memerintahkan KIP Aceh untuk menjadwalkan ulang Pemilihan Umum
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam
provinsi Aceh dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5. Membatalkan seluruh tahapan yang sudah dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP
Kabupaten/Kota di Aceh.
Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya
(ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon
mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-4, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
2. Bukti P-2 : Fotokopi Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 204 tentang
Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
3. Bukti P-3 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09
Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
4. Bukti P-4 : Fotokopi Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh
Nomor: 17 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas
14
Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1
Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
Dalam Provinsi Aceh;
Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 13
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1 Tahun 2011
tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Dalam Provinsi Aceh;
Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 11
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi
Independen Pemilihan Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota Dalam Provinsi Aceh;
Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1
Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
Dalam Provinsi Aceh;
[2.3] Menimbang bahwa Termohon memberikan jawaban lisan dan tertulis
bertanggal 29 Oktober 2011 terhadap permohonan para Pemohon, yang
diserahkan Termohon dalam persidangan tanggal 31 Oktober 2011, dengan uraian
sebagai berikut:
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan:
1. Menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
15
diberikan Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka apa yang disampaikan oleh Pemohon
tentang gugatan tahapan Pemilukada Aceh sesuai SK KIP Nomor 1 Tahun 2011
juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 juncto SK KIP Nomor 17 Tahun 2011 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Dalam
Provinsi Aceh Tahun 2011 adalah tidak tepat karena tahapan Pemilukada Aceh
masih dalam tahap proses (pencalonan), belum mencapai pada tahapan hasil
Pemilukada.
B. Kedudukan Hukum Pemohon
Bahwa sampai ditutupnya masa pengambilan dan pengembalian formulir
dukungan serta sampai dengan berakhirnya masa pendaftaran tanggal 7 Oktober
2011, nama Pemohon tidak tercantum dalam buku registrasi pendaftaran bakal
calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota,
KIP tidak pernah menerima pendaftaran pencalonan dari pihak Pemohon,
sehingga apa yang disampaikan Pemohon tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Bahwa Pemohon menyatakan KIP Aceh tetap melanjutkan Pemilukada tanpa
menunggu kepastian hukum dari Presiden terhadap pelaksanaan Pemilukada
Aceh tidak tepat karena kewenangan untuk menentukan atau melanjutkan tahapan
ada pada KIP Aceh, sebagaimana diatur Pasal 66 ayat (1) dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 yang menyatakan Tahapan dan Jadwal Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
ditetapkan oleh KIP. Sementara kewenangan Presiden tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan Iainnya.
C. Pokok Permohonan
Bahwa Pemohon menyatakan SK KIP Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK KIP Nomor
11 Tahun 2011 juncto SK KIP Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan, Program
dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Dalam Provinsi Aceh Tahun 2011
adalah melanggar Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2010, pernyataan ini adalah
tidak benar karena berdasarkan SK KIP Nomor 17 Tahun 2011 maka limit 210 hari
16
itu sudah mencukupi, bahkan lebih (227 hari), dihitung dari tanggal 12 Mei 2011
sampai dengan 24 Desember 2011 yang merupakan hari pemungutan suara.
Bahwa pembentukan badan penyelenggara di tingkat PPK dan PPS paling lama
180 hari sebelum pemungutan suara harus sudah terlaksana sehingga sangat
tidak memungkinkan pelaksanaannya jika harus menunggu surat pemberitahuan
dari DPRA, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun
2010.
Bahwa terhadap pernyataan Pemohon dicurangi oleh KIP tidak benar karena KIP
membuka kesempatan kepada setiap WNI untuk mendaftarkan sebagai calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara transparan sehingga tidak
merugikan Pemohon.
D. Petitum
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Termohon sampaikan di atas, mohon agar
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan yang amar
putusannya menyatakan:
1. Menyatakan sah SK KIP Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun
2011 juncto SK KIP Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan
Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Dalam Provinsi Aceh Tahun
2011;
2. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya.
[2.4] Menimbang bahwa Pihak Terkait menyampaikan tanggapan lisan dan
tanggapan tertulis bertanggal 31 Oktober 2011, yang disampaikan dalam
persidangan tanggal 31 Oktober 2011, sebagai berikut:
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakirnan
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
17
Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan,
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Bahwa, menurut Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah menyatakan bahwa objek perselisihan Pemilukada adalah hasil
penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon (KPU/KIP) yang
mempengaruhi: a) Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran
kedua Pemilukada; b) Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan
wakil kepala Daerah.
3. Bahwa, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon pada halaman 2 alinea
terakhir “bahwa berdasarkan sebagaimana ketentuan di atas maka jelas bahwa
hak untuk mengajukan keberatan atas hasil Pemilukada sendiri dijamin di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
dst”.
4. Bahwa, kemudian Pemohon juga mendaliikan bahwa menjadi tujuan dan
substansi dari Permohonan Pemohon adalah pembatalan Surat Keputusan
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK
Nomor 11 Tahun 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh
bertentangan dengan peraturan perundangan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
5. Bahwa, menurut Pihak Terkait, jelas bahwa permohonan pemohon bukan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum karena tidak terpenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15
Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil PEMILIHAN
Umum Kepala Daerah menyatakan bahwa objek perselisihan pemilukada
adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon (KPU/KIP)
yang mempengaruhi: a) Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti
18
putaran kedua Pemilukada; b) Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
6. Bahwa, menurut Pihak Terkait, permohonan Pemohon tidak termasuk dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana Pasal 10 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada yang
Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa perkara a quo
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa perkara
a quo;
2. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk
verklaard).
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
1. Bahwa, menurut Pasal 3 ayat (1) butir a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Daerah menyatakan bahwa yang dapat menjadi para pihak
adalah para pihak yang mempunyai kepentingan Iangsung dalam perselisihan
hasil pemilukada adalah a) Pasangan Calon sebagai Pemohon.
2. Bahwa, berdasarkan uraian para Pemohon bahwa para Pemohon adalah
sebagai Calon Gubernur Aceh dan Calon Bupati Pidie dari jalur perseorangan.
3. Bahwa, dalam perkara a quo para Pemohon mendalilkan bahwa dengan tetap
dilaksanakan pemilukada di Aceh dengan menggunakan landasan hukum Surat
Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011
juncto SK Nomor 11 Tahun 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tentang
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam
Provinsi Aceh bertentangan dengan Peraturan Perundangan, terkesan telah
membuat para Pemohon tidak dapat mengikuti Pemilukada dan terkesan para
Pemohon merasa sangat dirugikan dalam Pemilukada yang diselenggarakan
oleh KIP dan untuk itu para Pemohon tidak dulu mendaftarkan diri sebagai calon
gubernur dan Bupati Pidie.
4. Bahwa, saat ini tahapan Pemilukada telah berjalan melewati berbagai tahapan
19
yaitu tahapan penyerahan dukungan kepada Termohon yaitu tanggal 4 Juli
2011 sampai 8 Juli 2011, tahapan pendaftaran Pasangan Calon tanggal 1
Oktober 2011 sampai 7 Oktober 2011 dan tahapan-tahapan Iainnya.
5. Bahwa, sebagaimana pengakuan para Pemohon dalam butir f halaman 5
permohonannya di mana para Pemohon belum mendaftarkan diri sebagai bakal
calon peserta Pemilukada konon pula sebagai calon Gubernur dan calon Bupati
Pidie sebagaimana didalilkannya dan para Pemohon juga tidak pernah
mengikuti tahapan-tahapan yang disyaratkan bagi bakal calon.
6. Bahwa, menurut Pihak Terkait bahwa untuk menjadi para pihak dalam
permohonan perselihan hasil Pemilihan Umum disyaratkan bahwa pihak
Pemohon harus terlebih dahulu terdaftar sebagai pasangan calon [vide Pasal 3
ayat (1) butir a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah]
dan syarat lainnya adalah permohonan dilakukan setelah adanya pengumuman
dari Termohon tentang hasil Pemilukada (vide Pasal 4 butir a dan butir b
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah)
7. Bahwa, berdasarkan hal-hal tersebut jelas bahwa para Pemohon tidak
mempunyai kapasitas/kedudukan hukum dalam perkara a quo karena para
Pemohon belum pernah mendaftar sebagai bakal calon dan terpenuhi
persyaratan yang diamanahkan oleh peraturan-peraturan yang telah Pihak
Terkait uraikan di atas.
Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada
Mahkamah Konstitusi yang memeriksa perkara a quo dapat memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dalam
perkara a quo;
2. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvantkelijk verklaard).
Ataupun berdasarkan uraian tersebut di atas, Pihak Terkait menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan
menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh aturan perundang-undangan yang
20
berlaku.
C. Permohonan Para Pemohon Kabur (Obscuur Libellum)
1. Bahwa, menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa para
Pemohon mendalikan bahwa permohonan para Pemohon adalah
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, namun di sisi lain para Pemohon
menyatakan bahwa SK Termohon, Surat Keputusan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK Nomor 11 Tahun 2011
juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh bertentangan dengan
dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh.
2. Bahwa, dalil-dalil tersebut jelas telah menampakkan bahwa objek
permohonan para Pemohon tidak jelas dan kabur karena permohonan
perselisihan hasil Pemilihan Umum dan Pertentangan antara aturan yang
satu dengan aturan yang lain adalah hal yang berbeda dan tidak dapat
disatukan dalam satu permohonan.
3. Bahwa, para Pemohon dalam permohonan juga tidak menguraikan dan
menjelaskan tentang hasil dari Pemilukada karena jelas bahwa permohonan
yang diajukan oleh para Pemohon adalah permohonan hasil Pemilukada
sehingga dengan demikian permohonan para Pemohon adalah tidak jelas
dan kabur.
4. Bahwa, berdasarkan hal-hal tersebut maka layak dan berdasarkan hukum
apabila permohonan a quo dinyatakan tidak diterima.
Namun apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka
Pihak Terkait akan memberikan keterangan sehubungan dengan permohonan
para Pemohon pada poin selanjutnya.
D. Pokok Permohonan
1. Bahwa, Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil para Pemohon, kecuali
diakui tegas oleh Pihak Terkait.
2. Bahwa, hal-hal yang dikemukakan di atas, mohon dianggap sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dan berlaku secara mutatis mutandis.
3. Bahwa, tidak benar yang didalilkan para Pemohon bahwa Surat Keputusan
21
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK
Nomor 11 Tahun juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh
adalah tidak sesuai dan melanggar ketentuan Pasal 73 juncto Pasal 66 ayat
(3) huruf b juncto Pasal 66 ayat (6) UUPA karena SK Termohon tersebut
adalah telah sesuai dengan aturan-aturan perundang-undangan yang berlaku
baik Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang tentang
Penyelenggaraan Pemilu dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum.
4. Bahwa, tidak benar yang didalilkan Pemohon bahwa telah terjadi konflik
regulasi di Aceh menyangkut pelaksaanaan Pemilukada karena menyangkut
pelaksanaan Pemilukada aturannya sudah jelas dan Termohon sebagai
penyelenggara Pemilukada telah menjalan tugas dan wewenangnya dengan
baik sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Bahwa, konflik regulasi yang didalilkan para Pemohon adalah hanya istilah
yang dibuat-buat berdasarkan khayalan para Pemohon karena dalam sistem
hukum di Indonesia tidak pernah ditemukan istilah konflik regulasi.
6. Bahwa, tidak benar yang didalilkan para Pemohon dalam poin 7
permohonannya bahwa pertemuan eksekutif, legislatif Aceh dan Termohon
yang ditengahi oleh Kementerian Dalam Negeri tidak mencapai titik temu
karena pada pertemuan tersebut Pemerintah pusat melalui Kementerian
Dalam Negeri menyerahkan sepenuhnya menyangkut penyelenggaraan
pemilukada kepada Pemohon (sic) karena berdasarkan aturan perundangundangan,
kewenangan penyelenggaraan Pemilukada adalah kewenangan
Termohon sehingga lanjutan tahapan Pemilukada yang dilaksanakan oleh
Termohon sudah benar dan tepat.
7. Bahwa, tidak benar dalil para Pemohon bahwa penyelenggaran Pemilukada
Aceh tidak berlandaskan hukum sebagaimana perintah Pasal 73 UUPA di
mana penyelenggaraan Pemilukada acuannya adalah Qanun karena jelas
dan juga diketahu oleh para Pemohon bahwa penyelenggaran pemilukada
Aceh saat ini adalah berlandaskan Qanun Nomor 7 Tahun 2006, hal ini
terjadi karena rancangan Qanun baru tidak dapat diselesaikan oleh legislatif
sehingga dengan tidak adanya Qanun baru, maka secara hukum Qanun
22
lama tetap berlaku dan dapat diberlakukan.
8. Bahwa, tidak benar dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Keputusan
Termohon adalah tidak logis dan menipulatif yang membuat para Pemohon
dicurangi karena dalam pelaksaan Pemilukada yang diselenggarakan
berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku dan hal ini terbukti di
mana peserta calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota yang telah mendaftar sebagai bakal calon dan telah
melalui sejumlah tahapan mencapai 256 orang dan kesemua bakal calon
tersebut mampu memenuhi dan menjalani tahapan-tahapan yang
sebagaimana keputusan Termohon tersebut dan tidak keberatan atas
keputusan Termohon tersebut.
9. Bahwa, Termohon tidak pernah menghalangi atau menolak para Pemohon
untuk mendaftar sebagai calon peserta Pemilukada sehingga tidak ada
alasan bagi para Pemohon untuk menyatakan bahwa para Pemohon telah
merasa dicurangi karena jelas terbukti para Pemohon selama tahapan
Pemilukada tidak pernah melakukan upaya apapun sehingga dapat dikatakan
bahwa para Pemohon telah dirugikan.
10. Bahwa, alasan para Pemohon bahwa Keputusan Termohon adalah tidak
logis dan manipulatif adalah alasan-alasan yang tidak berdasarkan hukum
dan alasan yang tidak berdasarkan hukum tersebut tentunya tidak dapat
menjadi landasan agar Pemilukada di Aceh ditunda karena penundaan
Pemilukada akan mengakibatkan kerugian besar bagi rakyat Aceh.
11. Bahwa, tidak benar dalil para Pemohon pada poin 9 permohonannya karena
seluruh tahapan, program dan jadwal Pemilukada sebagaimana tercantum
dalam SK Termohon adalah sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang berlaku dan tentunya sudah memberikan kepastian hukum kepada
semua pihak.
12. Bahwa, alasan-alasan yang didalilkan oleh para Pemohon bahwa SK
Termohon tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilukada telah
melanggar asas-asas kepentingan umum adalah tidak benar dan hanya
penilaian subjektif dari para Termohon dan tidak berlandaskan hukum.
13. Bahwa, tahapan, program dan jadwal Pemilukada jelas-jelas sudah
berdasarkan hukum serta aturan-aturan terkait Iainnya sehingga tidak
23
merugikan siapapun dan Pemilukada Aceh tetap harus lanjut sesuai waktu
yang telah ditentukan dan justru akan sangat merugikan rakyat Aceh secara
keseluruhan apabila Pemilukada ditunda.
Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kiranya
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa
perkara a quo;
2. Menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
3. Menyatakan permohonan a quo tidak jelas dan kabur sehingga permohonan
a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
4. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidaktidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
5. Menyatakan keterangan Pihak Terkait diterima seluruhnya;
6. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya baik dalam provisi maupun
dalam pokok perkara;
7. Menyatakan Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh
(Termohon) Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK Nomor 11 Tahun 2011 juncto SK
Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan lainnya;
8. Menyatakan Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh
(Termohon) Nomor 1 Tahun 2011 juncto SK Nomor 11 Tahun 2011 juncto SK
Nomor 17 Tahun 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat;
9. Menyatakan tahapan Pemilukada untuk dilanjutkan oleh Termohon.
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pihak Terkait
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
24
[2.5] Menimbang bahwa, Mahkamah telah memanggil dan mendengar
keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang diwakili Ketua DPRA
Hasbi Abdullah, dalam persidangan tanggal 31 Oktober 2011, yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
􀂃 KIP tidak menghormati DPR Aceh, karena DPRA/DPRK belum
memberitahukan kepada KIP mengenai berakhirnya masa jabatan kepala
daerah, tetapi KIP tetap melaksanakan tahapan-tahapan Pemilukada.
􀂃 Qanun Pemilukada yang telah disusun oleh DPRA belum disepakati oleh
Gubernur Aceh.
􀂃 DPRA belum menemukan solusi lain mengenai permasalahan Pemilukada di
Aceh.
􀂃 Qanun yang lama, mengenai Pemilukada, masih tetap berlaku dan belum
dicabut.
􀂃 Qanun yang lama mengakomodir calon perseorangan, tetapi dibatasi hanya
sekali (satu periode).
􀂃 DPRA pada 18 Agustus 2011 sudah memberitahukan akan berakhirnya masa
jabatan kepala daerah kepada KIP. Namun kenyataannya KIP sudah memulai
proses Pemilukada sejak 12 Mei 2011, yang artinya mendahului
pemberitahuan DPRA.
􀂃 Seharusnya pemilukada Aceh mengacu kepada UUPA daripada mengacu
kepada Undang-Undang nasional.
􀂃 UUPA tidak mengatur mengenai tata hubungan kerja antara DPRA dengan
KIP.
[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah memanggil dan mendengar
keterangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diwakili Tim
yang ditunjuk oleh Gubernur Aceh, dalam persidangan tanggal 31 Oktober 2011,
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
􀂃 Hal yang membedakan Aceh dengan pemrintah daerah lainnya adalah adanya
Qanun yang mengatur Pemilukada.
􀂃 Qanun lama yang mengatur Pemilukada masih berlaku dan tidak dibatasi
keberlakuannya.
25
􀂃 Beberapa ketentuan dalam Qanun diambil dari UU 32/2004 dan bukan dari
UUPA.
􀂃 Pada tahun 2010 Pemerintah Aceh mengajukan draf rancangan (revisi)
Qanun, namun belum dapat dibahas karena banyak Qanun yang sedang
dibahas, yang kemudian pada 2011 Pemerintah Aceh mengusulkan kembali
draf rancangan Qanun.
􀂃 Setelah adanya putusan MK mengenai calon perseorangan, Pemerintah Aceh
mengajukan kembali draf rancangan Qanun yang mengakomodir calon
perseorangan.
􀂃 Terdapat dua hal yang belum disepakati oleh DPRA dan Gubernur Aceh, yaitu:
a) calon perseorangan; dan b) penyelesaian sengketa Pemilukada oleh
Mahkamah Konstitusi.
􀂃 Pemerintah Aceh berpendapat calon perseorangan boleh maju, dan
penyelesaian sengketa Pemilukada ditangani oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah dialihkan dari Mahkamah Agung.
􀂃 Karena DPRA menolak kedua hal tersebut, Pemerintah Aceh tidak
mengundangkan Qanun dimaksud ke dalam lembaran daerah.
􀂃 Pada 18 Agustus 2011 DPRA membertahukan mengenai berakhirnya masa
jabatan gubernur/wakil gubernur.
􀂃 Karena Qanun baru yang mengatur Pemilukada belum ada, maka Qanun lama
masih berlaku.
􀂃 Konflik regulasi adalah hal yang lumrah, tetapi dapat diselesaikan dengan
asas-asas umum hukum.
[2.7] Menimbang bahwa pada tanggal 2 November 2011, Mahkamah telah
mengucapkan Putusan Sela Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 dengan amar sebagai
berikut:
Mengadili,
Menyatakan:
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, memerintahkan Termohon untuk:
􀂃 Membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, untuk memberi kesempatan
kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan
26
oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan, sampai
dengan 7 (tujuh) hari sejak putusan sela ini diucapkan;
􀂃 Menyesuaikan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan
umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota
dalam Provinsi Aceh, sebagai akibat putusan sela ini;
[2.8] Menimbang bahwa para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dalam
perkara ini telah menyerahkan kesimpulan tertulis, masing-masing bertanggal 16
November 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 dan
tanggal 17 November 2011;
[2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama permohonan para
Pemohon adalah keberatan terhadap Keputusan Komisi Independen Pemilihan
Aceh Nomor 1 Tahun 2011 bertanggal 12 Mei 2011 junctis Keputusan Komisi
Independen Pemilihan Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Keputusan Komisi Pemilhan Independen Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
dalam Provinsi Aceh bertanggal 20 Juli 2011; Keputusan Komisi Independen
Pemilihan Aceh Nomor 13 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Komisi Pemilhan Independen Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh
bertanggal 29 Juli 2011; Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 17
Tahun 2011 bertanggal 26 September 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas
Keputusan Komisi Pemilhan Independen Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
27
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
dalam Provinsi Aceh;
[3.2] Menimbang bahwa terhadap dalil masing-masing pihak mengenai:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon; dan
c. tenggang waktu pengajuan permohonan;
Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK) junctis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004) sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844, selanjutnya
disebut UU 12/2008), dan Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
[3.3.1] Semula, berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU
32/2004, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke Mahkamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Agung tersebut, dicantumkan lagi dalam Pasal 94
28
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 92, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4865);
Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721,
selanjutnya disebut UU 22/2007) ditentukan, ”Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
Pasal 236C UU 12/2008 menetapkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan
suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang
ini diundangkan”;
Pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah
Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan
Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C UU 12/2008 di atas;
[3.3.2] Secara khusus Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pemilukada
Aceh mempunyai kekhususan dibandingkan dengan Pemilukada lainnya. Hal
demikian disebabkan adanya Qanun yang juga mengatur proses Pemilukada di
Aceh yang tidak terdapat pada daerah-daerah lainnya. Salah satu alasan hukum
yang dijadikan dasar oleh para Pemohon adalah bahwa Pemilukada Aceh yang
akan diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) untuk memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
periode 2012-2017 tidak mempunyai dasar hukum karena belum adanya Qanun
yang mengatur Pemilukada Aceh;
Berdasarkan keterangan Pihak Terkait yang didengar dalam persidangan, baik
Pemerintah Aceh maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Mahkamah
29
menemukan fakta hukum bahwa memang kedua belah pihak belum bersepakat
mengenai materi Qanun tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Bahwa berdasarkan ketentuan
Pasal 234 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633, selanjutnya disebut UU
11/2006), Qanun harus mendapat persetujuan bersama antara DPRA dengan
Gubernur Kepala Daerah Aceh, sehingga dengan adanya perbedaan pendapat
antara DPRA dengan Gubernur Aceh, Qanun yang dimaksudkan sebagai
pengganti Qanun Nomor 6 Tahun 2006 belum terbentuk;
Antara DPRA dengan Gubernur Aceh terdapat perbedaan pendapat mengenai
materi yang seharusnya diatur dalam Qanun tersebut, yang meliputi dua hal.
Pertama, DPRA dengan 40 suara mendukung dan 20 suara abstain, tidak setuju
jika dalam Qanun diperbolehkan calon perseorangan, sedangkan Gubernur Aceh
menghendaki supaya Qanun mengakomodasi calon perseorangan. Kedua,
menurut DPRA, penyelesaian sengketa pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota, dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan bukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana diusulkan oleh
Gubernur Aceh;
Menurut pendapat DPRA, telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan KIP
Aceh karena telah menetapkan jadwal Pemilukada Aceh dan telah membuka
pendaftaran calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon
Walikota/Wakil Walikota, serta KIP telah melaksanakan tahapan Pemilukada tanpa
berdasarkan Qanun;
[3.3.3] Mahkamah berpendapat bahwa dari kasus a quo telah terjadi
perbedaan pendapat mengenai substansi hukum yang berlaku dalam Pemilukada
Aceh antara DPRA dengan Gubernur, dan antara DPRA dengan KIP Aceh.
Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan perbedaan penafsiran hukum, oleh
karenanya objectum litis dalam perkara a quo adalah masalah hukum yang
diberlakukan pada Pemilukada di Aceh, dan bukanlah perbedaan kebijakan
(policy) dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh. Penyelesaian perbedaan
menyangkut kebijakan dapat dilakukan dengan melalui cara konsensus antarpihak,
dalam hal ini adalah para pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan
30
pemerintahan yang berada di bawah Presiden. Perbedaan pendapat yang
menyangkut hukum, penyelesaiannya harus menjamin keabsahan dan kepastian
hukum yang adil oleh pengadilan yang berwenang, sesuai dengan prinsip negara
hukum. Dalam permohonan a quo karena perbedaan penafsiran antara DPRA dan
Gubernur Aceh tentang materi Qanun dalam perkara a quo tidak dapat
diselesaikan secara internal oleh DPRA dan Gubernur Aceh serta oleh Pemerintah
Pusat, maka persoalan a quo harus diselesaikan oleh lembaga peradilan;
Demikian halnya perbedaan penafsiran tentang dasar hukum antara KIP Aceh
dengan DPRA yang menyangkut pelaksanaan Pemilukada juga tidak dapat
dilakukan atas campur tangan pihak ketiga, karena KIP merupakan lembaga
independen. Apabila terdapat pihak ketiga yang tidak mempunyai kompetensi,
namun memutus perselisihan, maka hal demikian akan menyebabkan
terganggunya independensi KIP serta dapat mempengaruhi keabsahan
penyelenggaraan dan hasil Pemilukada;
[3.3.4] Mahkamah berpendapat bahwa terdapat beberapa pengadilan yang
sesuai dengan kewenangannya untuk mengadili sengketa hukum dalam
penyelenggaraan pemilihan umum termasuk Pemilukada. Peradilan tata usaha
negara merupakan pengadilan yang berwenang mengadili keputusan
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat administratif. Peradilan umum
merupakan pengadilan yang berwenang mengadili perkara pidana Pemilu.
Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam paragraf [3.3] dan paragraf
[3.3.1] di atas, berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk, antara lain, memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum termasuk Pemilukada. Sesuai dengan kewenangan tersebut,
Mahkamah memutus sengketa pemilihan kepala daerah sebagai instansi yang
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sehingga setelah diputus oleh
Mahkamah, putusan tersebut langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan
tidak ada upaya hukum terhadapnya;
[3.3.5] Bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon sebenarnya
secara formil belum memenuhi syarat sengketa pemilihan kepala daerah yang
menjadi kewenangan Mahkamah, karena belum menyangkut hasil pemilihan
kepala daerah berhubung pemilihan kepala daerah belum selesai dilaksanakan.
31
Namun demikian, permohonan yang diajukan oleh para Pemohon terkait dengan
proses yang akan menentukan hasil Pemilukada, yang apabila tidak diputuskan
terlebih dulu oleh Mahkamah, akan menimbulkan ketidakpastian hukum proses
dan hasil akhir Pemilukada, sehingga dapat menimbulkan sengketa-sengketa
baru. Selain itu, Pemilukada Aceh mempunyai sifat kekhususan dibandingkan
dengan Pemilukada daerah lain yang disebabkan oleh kekhususan Pemerintahan
Aceh, yaitu adanya pengaturan dalam bentuk hukum Qanun mengenai
penyelenggaraan Pemilukada. Lagipula, hal yang dipersoalkan oleh para pihak
telah menyangkut konstitusionalitas kedudukan dan hubungan antara
pemerintahan Aceh, DPRA, dan KIP Aceh, serta hak politik rakyat Aceh dalam
kaitan dengan penyelenggaraan Pemilukada yang menyangkut hak
konstitusionalitas warga negara untuk memilih dan dipilih serta pelaksanaan
prinsip-prinsip konstitusionalitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum,
termasuk Pemilukada. Oleh karena itu, Mahkamah berdasarkan kewenangan yang
ada, merupakan pengadilan yang berwenang untuk mengadili permohonan para
Pemohon a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU 12/2008 dan Pasal 3
ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
(selanjutnya disebut PMK 15/2008), Pemohon dalam perselisihan hasil
Pemilukada adalah Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
peserta Pemilukada;
[3.5] Menimbang bahwa para Pemohon adalah bakal calon kepala daerah,
dalam hal ini bakal calon Gubernur Aceh dan bakal calon Bupati Pidie, yang
menganggap adanya ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilukada
di Aceh. Berdasarkan hal tersebut, serta dengan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada paragraf [3.3.5] di muka, menurut Mahkamah para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
32
Pendapat Mahkamah
Dalam Eksepsi
[3.6] Menimbang bahwa dalam tanggapannya, Pihak Terkait mengajukan
eksepsi terhadap permohonan para Pemohon sebagai berikut:
􀂃 Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);
􀂃 Permohonan para Pemohon kabur (obscuur libel);
Menurut Mahkamah, eksepsi mengenai kedudukan hukum para Pemohon telah
dipertimbangkan pada paragraf sebelumnya. Adapun terhadap eksepsi mengenai
permohonan yang kabur (obscuur libel), menurut Mahkamah hal tersebut sudah
masuk dalam pokok permohonan sehingga akan dipertimbangkan bersama-sama
dengan pokok permohonan;
[3.7] Menimbang oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan
a quo, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok
permohonan;
Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dari fakta hukum, baik dalil para Pemohon, jawaban
Termohon, jawaban Pihak Terkait, bukti-bukti surat, keterangan saksi masingmasing
pihak, keterangan DPRA, Pemerintah Provinsi Aceh, dan Kementerian
Dalam Negeri, Mahkamah menemukan hal-hal yang menjadi pokok perselisihan,
yaitu mengenai:
1. Calon perseorangan;
2. Kedudukan KIP Aceh dan Qanun;
3. Penyelesaian sengketa Pemilukada;
[3.9] Menimbang bahwa terhadap pokok perselisihan tersebut, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
Calon Perseorangan
[3.9.1] Bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dan Pasal 33 Qanun Nomor 7 Tahun
2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
33
Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya disebut Qanun
7/2006) menyatakan perseorangan dapat mengajukan diri atau mencalonkan diri
sebagai pasangan bakal calon kepala daerah di Aceh. Sementara itu, menurut
Pasal 59 UU 32/2004, pasangan calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik;
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23
Juli 2007, menegaskan calon perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan tersebut didasarkan, antara lain, pada pertimbangan praktik di Aceh yang
memperbolehkan calon perseorangan, sehingga Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004
dan pasal serta ayat terkait, yang membatasi bahwa calon kepala daerah hanya
dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, adalah bertentangan
dengan UUD 1945. Dari putusan tersebut tampak tegas diperbolehkannya
perseorangan menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah untuk daerah lain di
Indonesia, yang justru belajar dari masyarakat Aceh yang bertujuan, antara lain,
untuk meningkatkan nilai demokrasi dalam pemilihan kepala daerah;
[3.9.2] Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUUV/
2007 bertanggal 23 Juli 2007, pada tahun 2008 diundangkan UU 12/2008 yang
diantara materi yang diaturnya mengimplementasikan Putusan Mahkamah a quo
mengenai calon perseorangan;
Meskipun UU 11/2006 maupun Qanun 7/2006 membatasi calon perseorangan
hanya untuk pemilihan kepala daerah tahun 2006 saja, hal demikian tidaklah
berarti bahwa rakyat Aceh hanya berhak satu kali saja untuk mencalonkan calon
perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010, calon
perseorangan yang semula diperbolehkan hanya satu kali saja, yaitu pada
pemilihan kepala daerah tahun 2006, menjadi diberlakukan untuk pemilihanpemilihan
kepala daerah setelahnya;
Mahkamah berpendapat bahwa Putusan a quo tidak bertentangan dengan
kehendak masyarakat Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam Memorandum of
Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free
Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15
Agustus 2005 (selanjutnya disebut MoU Helsinki). Mou Helsinki justru memperkuat
34
kehendak masyarakat Aceh, karena MoU Helsinki menyatakan bahwa, ”The
parties commit themselves to creating conditions within which the government of
the Acehnese people can manifested through a fair and democratic process within
the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia (Para pihak bertekad
untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan
melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan
konstitusi Republik Indonesia)”. (vide alinea ke-2 MoU);
Bahkan secara jelas dinyatakan dalam angka 1.2.2 MoU Helsinki tentang Political
Participation, yaitu ”Upon the signature of this MoU, the people of Aceh will have
the right to nominate candidates for the position of all elected officials to contest
the elections in Aceh in April 2006 and thereafter (Dengan penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk
posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan
April 2006 dan setelahnya)”. Dengan demikian, diperbolehkannya calon
perseorangan tidak bertentangan sama sekali dengan isi MoU Helsinki, bahkan
memperkuat isi MoU tersebut dalam rangka demokratisasi;
[3.9.3] Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah adalah tidak benar
pendapat yang menyatakan bahwa menurut MoU Helsinki calon perseorangan
untuk semua pemilihan kepala daerah di Aceh hanya berlaku satu kali, sebab dari
dua butir kesepahaman MoU Helsinki tampak jelas bahwa calon perseorangan
diperbolehkan. Dengan demikian hak rakyat Aceh untuk memilih calon
perseorangan diberikan untuk pemilihan bulan April 2006 dan setelahnya
(thereafter), tidak hanya untuk satu kali saja. Dalam Penjelasan Umum UU
11/2006, antara lain, dinyatakan, “Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah
Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil,
makmur sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota
Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. …
Undang-Undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh
berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem
35
pemerintahan secara nasional.” Dengan demikian, Mahkamah berpendapat
pelaksanaan butir 1.2.2 MoU Helsinki yang memberikan hak kepada rakyat Aceh
untuk mengajukan calon perseorangan adalah dalam rangka rekonsiliasi secara
bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara
berkelanjutan. Artinya, adanya calon perseorangan adalah merealisasi maksud
MoU Helsinki dan tidak sedikit pun bertentangan dengannya. Kenyataan bahwa
UU 11/2006 dan Qanun 7/2006 yang memberikan kesempatan kepada rakyat
Aceh untuk memilih calon perseorangan hanya pada pemilihan kepala daerah
pada 2006, justru tidak memberikan hak kepada rakyat Aceh secara penuh
sebagaimana dituangkan dalam MoU Helsinki. Calon perseorangan di Aceh tidak
bertentangan dengan MoU Helsinki serta telah sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010 tentang calon
perseorangan pada Pemilukada di Aceh;
[3.9.4] Bahwa Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 30 Desember
2010 yang memperbolehkan calon perseorangan untuk mengikuti Pemilukada di
Aceh dengan membatalkan Pasal 256 UU 11/2006 adalah bertentangan dengan
Pasal 269 ayat (3) UU 11/2006. Memang menurut Pasal 269 ayat (3) UU 11/2006,
perubahan terhadap UU 11/2006 harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan
mendengar pertimbangan dari DPRA; tetapi hal itu jelas hanya merujuk pada
perubahan UU 11/2006 serta proses legislasi atau legislative review oleh DPR dan
Pemerintah. Pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945
sebagai proses ajudikasi, dalam hal ini judicial review oleh Mahkamah, tidaklah
memerlukan konsultasi atau mendapat pertimbangan dari DPRA. Dengan
demikian, ketentuan Pasal 269 ayat (3) UU 11/2006 berlaku untuk legislative
review, bukan untuk judicial review;
Kedudukan KIP Aceh dan Qanun
[3.9.5] Bahwa KIP Aceh merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang diberi wewenang oleh UU 11/2006 untuk menyelenggarakan pemilihan
umum termasuk di dalamnya pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati, dan walikota/wakil walikota [vide Pasal 1 angka 12 UU 11/2006 juncto
Pasal 1 angka 12 Qanun Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum di Aceh (Qanun 7/2007)]. Sebagai penyelenggara pemilihan umum di
36
seluruh wilayah Aceh, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota bersifat tetap dan
hierarkis [vide Pasal 4 ayat (1) Qanun 7/2007];
Meskipun demikian, terkait tata kerja, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota secara
khusus dapat mengatur sendiri sepanjang tidak diatur KPU [vide Pasal 4 ayat (3)
Qanun 7/2007]. Secara tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya
menyelenggarakan pemilihan umum, KIP Aceh dan/atau KIP Kabupaten/Kota
bebas dari pengaruh pihak manapun [vide Pasal 2 ayat (4) Qanun 7/2007]. Hal
demikian menunjukkan bahwa KIP Aceh dan/atau KIP Kabupaten/Kota tidak dapat
diintervensi oleh pihak manapun;
[3.9.6] Bahwa, agar pemilihan umum berlangsung secara demokratis,
diperlukan sebuah lembaga yang independen. UUD 1945 telah menetapkan suatu
lembaga independen dalam melaksanakan pemilihan umum. Pasal 22E ayat (1)
dan ayat (5) UUD 1945 menyatakan, pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, serta
menyatakan pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal demikian seiring dengan amanat
untuk menyelenggarakan pemilihan umum lokal di Aceh yang harus
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal ini
sejalan bahkan lebih luas daripada prinsip “free and fair” sebagaimana dinyatakan
dalam MoU Helsinki butir 1.2.3;
KIP Aceh dan/atau KIP Kabupaten/Kota adalah penyelenggara Pemilu yang
merupakan bagian dari KPU, yang bersifat hierarkis. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246, selanjutnya disebut
UU 15/2011) yang menyatakan, “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
bersifat hierarkis.” Dengan adanya sifat hierarkis, maka dalam menjalankan
tugasnya menyelenggarakan pemilihan umum, KPU Provinsi bertanggung jawab
kepada KPU [vide Pasal 38 ayat (1) UU 15/2011] dan KPU Kabupaten/Kota
bertanggung jawab kepada KPU Provinsi [vide Pasal 39 ayat (1) UU 15/2011];
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban tersebut juga berlaku untuk provinsi
yang bersifat khusus atau istimewa sepanjang tidak diatur lain oleh undangundang
tersendiri (vide Pasal 123 UU 15/2011). Sementara itu, terkait
37
penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh, UU 11/2006 tidak secara khusus
mengatur pertanggungjawaban KIP. Pasal 59 huruf c UU 15/2011 “hanya”
menyatakan bahwa KIP Aceh berkewajiban menyampaikan laporan setiap tahapan
pelaksanaan Pemilukada kepada DPRA; serta KIP Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan setiap tahapan pelaksanaan Pemilukada kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK);
[3.9.7] Selanjutnya, Mahkamah dengan Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004
bertanggal 22 Maret 2005 menyatakan ketentuan yang mengatur bahwa KPUD
bertanggung jawab kepada DPRD dalam Pasal 57 ayat (1) UU 32/2004 adalah
bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, asas dan prinsip Pemilu
serta penyelenggara yang independen (mandiri) sebagaimana ditentukan oleh
UUD 1945 tidak mungkin akan tercapai apabila KPUD harus bertanggung jawab
kepada DPRD, sebab sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, DPRD terdiri
atas partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pemilukada. Demikian
juga mengenai kewajiban KPUD untuk mempertanggungjawabkan penggunaan
anggaran kepada DPRD dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e UU 32/2004, dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah berpendapat pertanggungjawaban
penggunaan anggaran kepada DPRD dapat mengancam jaminan independensi
KPUD sebagai penyelenggara Pemilukada. Dengan demikian,
pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD hanya menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemilukada [vide Pasal 57 ayat (2) UU 32/2004 dan Pasal 59
huruf c UU 11/2006];
[3.9.8] Ketentuan-ketentuan di atas menunjukan bahwa kedudukan KIP Aceh
dan KIP Kabupaten/Kota sama dengan penyelenggara pemilihan umum di daerah
lainnya di Indonesia, yaitu mempunyai sifat tetap, memiliki hubungan hierarkis
dengan penyelenggara pemilihan umum nasional (KPU), serta dalam
melaksanakan tugasnya bersifat mandiri, independen, non partisan, dan bebas
dari pengaruh kekuasaan apapun. Perbedaan dengan penyelenggara pemilihan
umum di daerah lain terletak pada penyebutan dan adanya pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah, atau yang disebut
Qanun;
Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan di Aceh berpedoman pada Qanun
[vide Pasal 66 ayat (6) UU 11/2006] dan dalam penyelenggaraan Pemilukada
38
terkait dengan tahapan pemilihan; pencalonan, termasuk persyaratan,
pengesahan, dan pelantikan; pemilih dan hak pemilih; diatur lebih lanjut dengan
Qanun yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku [vide
Pasal 73 UU Pemerintahan Aceh];
[3.9.9] Pendelegasian pengaturan dengan Qanun sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 66 ayat (6) dan Pasal 73 UU 11/2006 tidak menghilangkan sifat
hierarkis dan independensi KIP. Semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan Pemilu juga berlaku di Aceh. Dengan demikian,
meskipun tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan berpedoman pada Qanun dan
penyelenggaraan Pemilukada diatur lebih lanjut dengan Qanun, namun Qanun
tersebut harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Logika hukumnya, Qanun hanya mengatur materi yang tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, atau mengatur lebih lanjut peraturan perundangundangan
yang berlaku, sehingga Qanun tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan dengan
putusan pengadilan;
[3.9.10] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat
KIP, baik KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota, merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu,
pengaturan KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota dalam Qanun tidak boleh
mengurangi apalagi menghilangkan independensinya. Qanun hanya dapat
mengatur KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota dalam hal teknis dan
administrasi;
Penyelesaian Sengketa Pemilukada di Aceh
[3.9.11] Kewenangan di bidang kekuasaan kehakiman merupakan kewenangan
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi. Hal yang sama juga
dinyatakan dalam butir 1.1.2 huruf (a) MoU Helsinki bahwa Aceh akan
melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik kecuali, antara lain,
mengenai kekuasaan kehakiman. Salah satu penerapannya terlihat dalam
penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum. Meskipun di Aceh dibentuk
pengadilan tingkat pertama sampai tingkat banding, (yaitu Mahkamah Syar’iyah
39
kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah Aceh), namun terkait penyelesaian
sengketa atas hasil pemilihan umum, berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU 11/2006,
merupakan wewenang Mahkamah Agung. Dengan demikian, terkait penyelesaian
sengketa atas hasil pemilihan umum tidak ada perbedaan dengan daerah lainnya
dalam wilayah Indonesia. Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004 juga
menyatakan, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon diajukan ke Mahkamah Agung;
Dalam perkembangannya, pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum memasukkan
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) sebagai
bagian dari pemilihan umum. Selanjutnya, kewenangan untuk memutus
perselisihan hasil pemilihan umum menurut Pasal 24C UUD 1945 merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, pembentuk
Undang-Undang melakukan perubahan terhadap ketentuan penyelesaian
sengketa atas hasil Pemilukada melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008). Pasal 236C UU 12/2008
menetapkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama
18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”;
Lebih lanjut, melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009) pada Pasal 29 ayat (1) huruf d
ditegaskan kembali wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Selain itu, Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 yang menyatakan,
”Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”, juga memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus hal (wewenang) lain
yang diberikan oleh Undang-Undang, sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan
Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 yang menyatakan, ”Dalam ketentuan ini
termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
Penyelesaian sengketa atas Pemilukada di Aceh juga menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya. Oleh karena itu, semua peraturan
40
perundang-undangan, termasuk Qanun, yang mengatur tentang pemilihan umum
dan Pemilukada harus diselaraskan atau disesuaikan dengan ketentuan tersebut;
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan karena belum adanya
Qanun mengenai Pemilukada Aceh sebagaimana amanat Pasal 73 UU 11/2006,
maka pelaksanaan tahapan Pemilukada di Aceh yang dilaksanakan oleh KIP Aceh
dan/atau KIP Kabupaten/Kota tidak memiliki dasar hukum. Terhadap dalil tersebut
Mahkamah menilai Qanun yang mengatur Pemilukada Aceh, yaitu Qanun Nomor 7
Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh, masih mempunyai kekuatan
berlaku secara sah karena belum dicabut atau diganti dengan Qanun yang baru.
Selain itu, secara substansial kedua Qanun tersebut tidak bertentangan dengan
UUD 1945 maupun dengan MoU Helsinki, kecuali terkait beberapa ketentuan
sebagaimana telah diuraikan Mahkamah pada pertimbangan sebelumnya;
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon memohon agar Mahkamah
membatalkan atau menunda Pemilukada Aceh yang dilaksanakan berdasarkan
Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12
Mei 2011 junctis Keputusan KIP Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011,
Keputusan KIP Aceh Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011, Keputusan
Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September
2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam
Provinsi Aceh. Namun demikian, dalam persidangan para Pemohon tidak memberi
kepastian atau kejelasan sampai kapan Pemilukada harus ditunda. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpastian situasi politik, keamanan, serta stabilitas
pemerintahan. Selain itu, menurut peraturan perundang-undangan Mahkamah
tidak berwenang untuk menentukan jadwal dan berbagai soal teknis lainnya yang
terkait dengan Pemilukada. Masalah penjadwalan dan berbagai soal teknis lainnya
menjadi kewenangan KIP Aceh untuk menentukan dan mengatur sesuai dengan
situasi, kondisi, dan kesiapan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam
hal ini, KIP Aceh sudah menyusun jadwal, tahapan, dan program sesuai dengan
41
kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan
Keputusan KIP a quo adalah tidak tepat karena hal itu berada di luar kewenangan
Mahkamah;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan;
[4.3] Permohonan para Pemohon terbukti menurut hukum untuk sebagian;
[4.4] Calon perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU
Helsinki;
[4.5] Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan yang berwenang mengadili
sengketa Pemilukada, termasuk di Provinsi Aceh;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844); serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
42
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
􀂃 Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
􀂃 Menguatkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PHPU.D-IX/2011
bertanggal 2 November 2011;
􀂃 Memerintahkan Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan
jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh;
􀂃 Calon perseorangan dalam Pemilukada adalah sesuai dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak pula melanggar butir 1.2.2 Memorandum of Understanding between the
Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota
Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka);
􀂃 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada di
Provinsi Aceh;
􀂃 Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Maria Farida Indrati, masingmasing
sebagai Anggota pada hari Selasa tanggal dua puluh dua bulan
November tahun dua ribu sebelas yang diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum pada hari Kamis tanggal dua puluh empat bulan November tahun
dua ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku
Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, M. Akil
Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masingmasing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Termohon/Kuasanya,
dan Pihak Terkait/Kuasanya.
43
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Achmad Sodiki
ttd.
Harjono
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
M. Akil Mochtar
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Hamdan Zoelva
PANITERA PENGGANTI
ttd.
Mardian Wibowo

Calon Perseorangan Tidak Bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU Helsinki

Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh yang diajukan oleh Ir. H.T.A. Khalid, M.M. (bakal calon Gubernur Aceh) dan Fadhlullah (bakal calon Bupati Pidie) memasuki tahap pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/11/2011) sore. Dalam amar putusan perkara Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, didampingi Anggota Panel Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva.

Putusan ini Menguatkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 bertanggal 2 November 2011. Mahkamah dalam amar putusan juga memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Pemilihan Kab./Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh.

Selain itu, putusan Mahkamah juga menyatakan calon perseorangan dalam Pemilukada Aceh tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar butir 1.2.2 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka). Kemudian Mahkamah menyatakan berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada di Provinsi Aceh. Terakhir, menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Pangkal persoalan yang melatarbelakangi sengketa Pemilukada Aceh ini menyangkut tiga hal yaitu mengenai calon perseorangan; kedudukan KIP Aceh dan Qanun; dan terakhir mengenai penyelesaian sengketa Pemilukada. Mengenai calon perseorangan, Pasal 256 UU 11/2006 dan Pasal 33 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Qanun 7/2006) menyatakan perseorangan dapat mengajukan diri atau mencalonkan diri sebagai pasangan bakal calon kepala daerah di Aceh. Sementara itu, menurut Pasal 59 UU 32/2004, pasangan calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007, menegaskan calon perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut didasarkan, antara lain, pada pertimbangan praktik di Aceh yang memperbolehkan calon perseorangan, sehingga Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 dan pasal serta ayat terkait, yang membatasi bahwa calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut tampak tegas diperbolehkannya perseorangan menjadi calon dalam Pemilukada untuk daerah lain di Indonesia, yang justru belajar dari masyarakat Aceh yang bertujuan, antara lain, untuk meningkatkan nilai demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Selanjutnya sebagai implementasi dari putusan tersebut, pada tahun 2008 diundangkan UU 12/2008 yang antara lain memuat materi mengenai calon perseorangan.

Meskipun UU 11/2006 maupun Qanun 7/2006 membatasi calon perseorangan hanya untuk Pemilukada tahun 2006 saja, hal ini tidak berarti bahwa rakyat Aceh hanya berhak satu kali saja untuk mengusung calon perseorangan dalam Pemilukada. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010, calon perseorangan yang semula diperbolehkan hanya satu kali saja, yaitu pada Pemilukada tahun 2006, menjadi diberlakukan untuk pemilihan-pemilihan kepala daerah setelahnya.

Memperkuat MoU Helsinki

Mahkamah berpendapat putusan tersebut tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). Mou Helsinki justru memperkuat kehendak masyarakat Aceh, karena MoU Helsinki menyatakan bahwa, ”The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the Acehnese people can manifested through a fair and democratic process within the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia (Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia)”.

Dengan demikian menurut Mahkamah, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa MoU Helsinki bagi calon perseorangan untuk semua Pemilukada di Aceh hanya berlaku satu kali. Sebab dari dua butir kesepahaman MoU Helsinki tampak jelas bahwa calon perseorangan diperbolehkan. Hak rakyat Aceh untuk memilih calon perseorangan diberikan untuk pemilihan bulan April 2006 dan setelahnya (thereafter), tidak hanya untuk satu kali saja.

Berpedoman Qanun

Mengenai KIP Aceh, kedudukan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota sama dengan penyelenggara Pemilu di daerah lainnya di Indonesia, yaitu mempunyai sifat tetap, memiliki hubungan hierarkis dengan penyelenggara pemilihan umum nasional (KPU), serta dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri, independen, non partisan, dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Perbedaannya terletak pada penyebutan dan adanya pengaturan dalam Qanun. Sehingga tata cara pelaksanaan tahapan Pemilukada di Aceh berpedoman pada Qanun.

Kendati demikian, Qanun tersebut harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan. Logika hukumnya, Qanun hanya mengatur materi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang berlaku.